Selasa, 05 Mei 2009

mendampingi anak mengelola emosi

Rangkuman Singkat Diskusi yang dipandu oleh Marissa Moeliono, rangkuman diskusi oleh Innocentia Ine


Apa sih emosi itu? Emosi adalah apa yang dirasakan seperti rasa marah, takut, sedih, gembira, terharu..
Anak2 seperti juga orang dewasa juga mengalami perasaan2 tersebut. Emosi tsb kemudian tampil / keluar dalam bentuk ekspresi seperti murung, rewel, nangis, diam saja, agresi, banting2 barang…



Sebagai orang tua, kita lebih sering bereaksi terhadap ekspresi tampilan emosi si anak, jarang langsung pada emosinya. Hal ini disebabkan karena memang emosi adalah sesuatu yang tidak terlihat sehingga sulit untuk dimengerti, selain itu perbendaharaan kata anak yang masih terbatas membuat mereka sulit untuk menjelaskan perasaannya. Tapi menghadapi ekspresi saja tidak dapat menyelesaikan masalah si anak. Diperlukan reaksi yang tepat untuk memahami dan menerima emosi yang sedang dialami si anak sehingga tidak terus tampil dalam bentuk ekspresi negatif.



Emosi ada karena individu berada dalam lingkungan tertentu. Secara fisik, pusat emosi ada di amygdala (bagian belakang bawah kepala). Pada bayi, emosi diawali dengan tanda-tanda saat ia memperlihatkan rasa senang atau tidak senang, rasa ingin tahu (heran/mikir). Pada anak usia prasekolah sudah emosi sudah bertambah banyak seperti empati, malu, tersipu waktu berinteraksi dengan orang lain (Beda ya malu dan tersipu itu. Kalo malu lebih banyak ga enaknya, kalo tersipu itu malu2 tapi ada senangnya..). Saat itu mereka mulai belajar strategi untuk mengelola perasaan.

Lalu kenapa secara ekstrim ada anak yang sangat cuek, ada yang sangat peka dengan perasaannya? Hal ini banyak disebabkan oleh pembawaan anak itu sendiri. Ada anak yang sejak bayi memang sudah sangat sensitif. Biasanya ini terlihat dari fisiknya yang juga menjadi sangat sensitif; kalau sakit sangat rewel dan lama, mudah mual, pusing, gatal-gatal, sangat peka terhadap label, renda atau kerah baju, dll. Ada hubungan antara otak ke sekresi hormon. Apa yang terjadi di amygdala/emosi yang ia rasakan menimbulkan reaksi yang membuat ia juga peka secara fisik. Tapi bila diterima dan diolah dengan tepat, anak yang sensitif potensial untuk menjadi sangat 'kaya'.



Emosi anak mirip dengan orang dewasa, tapi cara berpikir anak-anak dan orang dewasa berbeda. Anak menafsirkan peristiwa2 yang terjadi disekelilingnya dengan cara yang berbeda dengan orang dewasa.
Beberapa contoh cara berpikir anak yang berpengaruh terhadap emosi:

* Anak belum mampu melihat hubungan sebab akibat dari kejadian yang terjadi di luar dirinya; misalnya kalau seorang ibu mendiamkan anak yang telah melakukan kesalahan (ditanya anaknya diam saja,dengan maksud menghukum) padahal si anak belum dapat mengkaitkan diamnya si ibu dengan kesalahan yang ia lakukan, sehingga ia mengambil kesimpulan yang salah, bahwa si ibu tidak suka kepada dia, dan menjadi luka dihati
* Anak menganggap bila sesuatu yang buruk terjadi, hal itu merupakan hukuman atas kesalahannya. Hal ini seringkali terjadi sebagai akibat dari pola pengasuhan yang suka mengancam atau menakut-nakuti anak supaya menurut. Misalnya kalimat yang sering terlontar untuk membuat anak menurut "awas ya, kalau nakal nanti mama pergi!" saat si memang harus pergi lama, si anak mengira itu adalah karena kesalahannya. Anak jadi banyak menyalahkan dirinya kalau ada yang sakit atau ada barang yang rusak, dan perasaan-perasaan bersalah ini sangat tidak sehat.
* Anak masih sulit membedakan antara kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain. Misalnya anak sering kali minta dibelikan mainan, sementara orang tua merasa mainan seperti itu sudah punya banyak, untuk apa beli lagi. Padahal buat anak, mengoleksi sesuatu adalah menyenangkan, menimbulkan perasaan tertentu dimana pemenuhannya memberi kepuasan, dan tidak dinilai dari harganya. Misalnya koleksi sticker, pinsil, atau benda2 kecil lainnya.



Selain cara berpikir yang berbeda, ada juga hal-hal lain yang secara umum berpengaruh terhadap tampilan emosi anak yang khas

* Anak banyak dibentuk menurut budaya yang berlaku, mereka diharapkan untuk belajar menampilkan emosi secara lebih terkendali, sehingga menurut hasil beberapa penelitian secara umum anak laki-laki itu menjadi lebih mudah marah, lebih jarang nangis, tidur lebih sedikit daripada anak perempuan, dan kurang memperhatikan kehadiran orang dewasa dekat mereka.
* Anak yang dilalaikan (kurang diterima/ kehadirannya dirasakan sebagai beban oleh orang tua) secara umum menunjukkan ciri-ciri: jarang menunjukkan rasa senang, jarang ingin bermain dengan alat-alat permainan/sangat menolak atau sangat terikat pada satu mainan/benda khusus (karena sebenarnya kebutuhannya yang utama adalah kebutuhan untuk diterima, disayang, disentuh), tidak terlalu peduli ribut atau takut kalau ditinggal ibunya (karena merasa keberadaannya tidak berarti bagi ibunya), terlihat lebih sedih, ekspresinya lebih datar daripada anak yang kehadirannya diterima dan berarti bagi orang tuanya (karena pengasuhan dilakukan secara 'datar' tanpa ekspresi, sehingga anak tidak belajar berekspresi)



Anak perlu belajar untuk:

* mengerti perbedaan antara mengalami perasaan dengan mengekspresikannya supaya bisa bertingkah laku terkendali
* menyadari perasaan-perasaan negatifnya
* mengendalikan tingkah laku negatifnya akibat perasaan negatifnya
* mencari jalan keluar dari perasaan negatifnya, misalnya dengan membicarakannya dengan orang tua atau orang lain, belajar mengekspresikannya secara visual (menuliskan atau menggambarkannya)



Orang tua perlu belajar untuk:

* Mengendalikan / mencari alternatif perilaku negatif saat mengalami emosi negatif seperti membanting barang atau pintu saat marah karena anak akan meniru perilaku tersebut
* Memperhatikan dan mencoba memahami emosi yang dialami anak sehingga dapat bereaksi secara tepat terhadapnya; Menerima / mengakui emosi yang sedang ia rasakan dengan menjelaskan ttg emosi yang dirasakan, memberi istilah / makna dari emosi tsb (ade sedih ya..), memeluk anak untuk meyakinkan bahwa dia boleh merasakan emosi tersebut. Reaksi spontan orang tua seperti "ya ade jangan marah dong..." atau "ade ga boleh malu dong..." akan dirasa membingungkan buat anak, karena memang ia sedang merasa marah/malu, kok ga boleh? Penting untuk anak agar merasa dimengerti, bahwa emosi yang ia rasakan tidak ditolak atau ditiadakan. Setelah ekspresinya mereda karena emosinya diterima, biasanya anak akan lebih mudah untuk diajak bicara, mengenali apa yang ia rasakan, bagaimana mengekspresikannya supaya lebih terkendali.


Penutup

Pertemuan kali ini dengan topik / tema yang kami hadirkan sebagai satu langkah untuk menyamakan persepsi dan wawasan mengenai cara membimbing anak. Diharapkan bahwa sedikit banyak pertemuan ini dapat memberi masukan dan jawaban atas pertanyaan2 yang dihadapi orang tua dalam menghadapi emosi (utamanya yang negatif) pada anak, seperti juga dengan kami sebagai pihak sekolah. Karena cara yang sama dan langkah yang seiring antara rumah dan sekolah niscaya akan membuahkan hasil yang lebih baik bagi anak-anak kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar