Selasa, 05 Mei 2009

Hindari Muatan Akademis pada Beban Pelajaran

Hindari Muatan Akademis pada Beban Pelajaran


JAKARTA, KOMPAS -

Usia siswa kelas I-III SD masih tergolong masa kanak-kanak. Sebagai anak yang masih berusia di bawah 10 tahun, perkembangan kejiwaan mereka lebih didominasi oleh naluri bermain. "Oleh karena itu, sungguh tidak proporsional jika pada masa seperti itu muatan pelajaran untuk mereka dijejali dengan aspek akademis dan pendekatan yang formal," kata Mudjito, Direktur Pembinaan TK/SD Depdiknas, di Jakarta hari Rabu (11/1).



Terkait dengan itu, Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak/Sekolah Dasar Depdiknas tengah merancang pengurangan beban belajar, Aspek akademis yang selama ini ditransformasikan para guru kepada siswa kelas I-III melalui tatap muka di kelas akan direduksi menjadi model permainan dan tak mesti di dalam kelas. Kelak, kata Mudjito, anak-anak kelas I-III SD lebih banyak dikenalkan konsep baca, tulis, dan berhitung dalam bentuk permainan. "Bila perlu mereka lebih banyak di luar kelas, misalnya di halaman sekolah atau lingkungan sosial," ujarnya.



Menurut Mudjito, upaya pengurangan beban dan pelenturan pola pembelajaran bagi kelas-kelas awal SD tersebut berangkat dari keluhan orangtua siswa bahwa ada kecenderungan putra-putri mereka jadi malas ke sekolah. Setelah diusut, ternyata putra-putri mereka cenderung merasa terbebani dengan muatan pelajaran yang berat. Apalagi bila materinya disampaikan secara kaku di depan kelas. Anak-anak akhirnya malah tidak melakoni pernbelajaran dengan asyik, tapi menganggapnya sebagai beban.

"Kalau kegagapan anak-anak itu dibiarkan dan tidak disikapi secara arif, bukan mustahil mereka nantinya putus sekolah di tengah jalan," tambah Mudjito.



la menjelaskan, awal Januari ini pihaknya telah menyampaikan usulan pengurangan beban belajar kepada Badan Standar Nasional Pendidikan. Pengajuan usulan tersebut bertepatan dengan momentum digodoknya standar isi pendidikan dan struktur kurikulum oleh BSNP.



Pembelajaran tematik

Secara terpisah, Ketua BSNP Bambang Suhendro mengatakan, pihaknya memang tengah mengkaji usulan tersebut. Kelak, di kelas I-III SD tak ada lagi mata pelajaran diberikan secara tersendiri, tetapi secara tematik.

Misalnya, dengan mengarahkan siswa bermain di halaman sekolah, pelajaran Matematika. Ilmu Pengetahuan Sosial. dan Ilmu Pengetahuan Alam bisa diberikan sekaligus. Dengan demikian, beban belajar akan berkurang dan tak selamanya harus melalui tatap muka di kelas.



"Saat ini kebetulan kami tengah memfinalisasi standar isi pendidikan dan struktur kurikulum yang pada akhirnya akan mengurangi beban dan pelajaran rata-rata 10 persen pada jenjang SD/Ml-SMA/MA," kata Bambang Suhendro.



Dalam uji publik standar isi pendidikan tanggal 21-23 Desember 2005, BSNP telah merancang beban belajar kegiatan tatap muka untuk jenjang SD/Ml hingga SMA/MA. Untuk jenjang SD/MI kelas I-III, dirancang 29-32 jam pelajaran per minggu atau 986-1.216 waktu pembelajaran per tahun. Satu jam pelajaran setara dengan 35 menit. Untuk kelas IV-V1. dirancang 34 jam pelajaran perminggu atau 1.156-1.292 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran setara 35 menit. Untuk SMP/MTs dirancang 34 jam pelajaran per minggu atau 1.156-1.292 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran untuk tingkat ini setara 40 menit. Adapun untuk SMA/MA dirancang 38 jam pelajaran perminggu atau 1.292-1444 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran setara 45 menit (NAR).


Kompas, 12 Januari 2006








kembali ke muka | Semi Palar | Artikel | Februari 2006


n. Sebaliknya, mereka bersikap skeptis ketika terjadi dekadensi moral pada output yang mereka hasilkan. Lalu membentengi diri dengan teori bahwa rusaknya moral seseorang karena faktor keturunan. Padahal, akar masalahnya, karena para pelaku pendidikan tidak pernah secara maksimal memberikan pendidikan moral secara baik kepada peserta didiknya.



Dalam sistem pendidikan holistik, proses produksi pendidikan tidak memakai parameter tunggal dalam mengukur keberhasilan. Mesin pendidikan tidak lagi menjadikan peningkatan potensi intelegensia sebagai menara gading. Potensi-potensi lain, seperti emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ), juga perlu ditransfer ke peserta didik. Ini agar output yang dihasilkan benar-benar manusia yang telah dimanusiakan, yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan moral yang baik. Dalam istilah klasik kita sebut sebagai "manusia Indonesia seutuhnya".



Untuk itu dibutuhkan metode andragogi dalam setiap proses pendidikan. Dengan metode ini, kita menjadikan anak didik sebagai subyek pendidikan, bukan sebagai bahan eksploitasi. Ada nuansa demokratis di setiap alur proses belajar. Pendidik tidak lagi dikultuskan sebagai sosok yang superior yang gemar memaksakan kehendak. Dalam metode ini tugas pendidik adalah memfasilitasi (sebagai fasilitator) dan memotivasi agar atmosfer belajar lebih aktif, manusiawi, dan demokratis. Dengan memberi ruang gerak semacam ini dapat memotivasi peserta didik untuk kreatif dan inovatif.
Jika kita simak Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dipopulerkan sejak tahun 2002, tampaknya KBK akan memberikan harapan dan melahirkan solusi jitu bagi persoalan pendidikan di Tanah Air. Filosofi KBK adalah merangsang kemandirian peserta didik dengan mengurangi superioritas pendidik.



Kurikulum anyar ini mengarahkan setiap alur proses belajar-mengajar dibalut dengan unsur attitude (sikap/moral), skills (keterampilan), knowledge (pengetahuan), experience (pengalaman), responsibility (tanggung jawab), dan accountability (pertanggungjawaban). Peserta didik juga dituntut untuk melakukan belajar mandiri (active learning). KBK juga telah memenuhi tiga unsur PAKEM pembelajaran, yaitu aspek kognitif (pengetahuan), psikomotorik (keterampilan), dan afektif (moral).



Jika semua metode ini dijalankan, idealnya menghasilkan output yang memiliki life skills yang secara teknis dan moral siap memerankan hidup di masyarakat. Dan, impian kita untuk menjanjikan sebagai lokomotif pembangunan bukan lagi fatamorgana.



Indra Priamudi Alumnus FSUI, Pengajar Politeknik Gajah Tunggal

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/23/Didaktika/1916437.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar