Jumat, 15 Mei 2009

MAKALAH
PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEBANGKITAN
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur pada Mata kuliah Ilmu Pendidikan





Disusun oleh :
Ai Sri Wahyuningsih
Ginal Huda



JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pengetahuan tentang berbagai masalah lembaga pendidikan amat penting diketahui oleh para pemerhati dan praktisi dibidang pendidikan islam terutama dalam perumusan konsep serta pengambilan kebijakan kebijakan dibidang pendidikan islam.
Selain dari itu masalah yang berkaitan dengan pendidikan islam sangatlah luas, diantaranya historis, kurikulum, metodologi, pengajar dan existensi lembaga-lembaga pendidikan islam.
Apabila kita tidak mengetahui semua itu, maka bukan hal yang tidak mungkin apabila kedepannya pendidikan akan terpuruk, maka dari itu penyusun tertarik untuk membuat makalah dengan tema sejarah pendidikan islam dengan mengambil judul makalah “PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEBANGKITAN”mudah-mudahan dengan disusunnya makalah ini sedikit banyak dapat memberikan kontribusi bagi kita sebagai pemerhati pendidikan. Segala permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan terutama dari sisi sejarah.

B. Rumusan Masalah
Agar mempermudah penulisan, maka penulis membuat rumusan masalah yang sesederhana mungkin guna menghindari terjadinya kesimpang siuran dalam pembahasan, adapun rumusan masalah tersebut penulis buat berbentuk pertanyaan yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan islam?
2.
3. Bagaimana pendidikan islam di Mesir, Turki, dan Irak?






BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Islam

Secara etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah” dengan kata kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.(Zakiyah Drajat, 1996: 25) Menurut pendapat ahli, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. (Hasbullah,2001: 4)
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. (Ngalim Purwanto, 1995:11). HM. Arifin menyatakan, pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia.(HM.Arifin, 2003: 22)
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU Sisdiknas No. 20, 2003)
Pendidikan memang sangat berguna bagi setiap individu. Jadi, pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan warga masyarakat sedini mungkin menggali, memahami, dan mengamalkan semua nilai yang disepa kati sebagai nilai terpuji dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Islam menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis. (Zakiah Drajat,1996: 25)
Dengan demikian, pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).




B. Masa kebangkitan Islam
Tahun 2006 lalu berakhir nyaris bertepatan dengan salah satu momen penting dalam peribadatan kaum Muslimin, yaitu ibadah haji. Pada akhir tahun 2008, pergantian tahun masehi (solar calendar) juga akan nyaris berhimpitan dengan pergantian tahun Islam/ hijriah (lunar calendar). Kini, seperempat abad lebih sudah berlalu sejak kaum Muslimin memasuki abad hijriah yang baru, yaitu abad kelima belas hijriah, yang jatuh kurang lebih bertepatan dengan tahun 1980 masehi (atau lebih tepatnya pada bulan November 1979).
Kehadiran abad kelima belas hijriah ketika itu telah dijadikan momentum kebangkitan kembali umat Islam oleh sebagian ulama dunia. Abad lima belas hijriah pun dicanangkan sebagai abad kebangkitan Islam. Selama beberapa tahun lamanya, gaung kebangkitan terdengar keras di dunia Islam. Optimisme merasuk ke sepenjuru belahan masyarakat Muslim. Namun, setelah berlalu seperempat abad, optimisme itu tak lagi terdengar dibicarakan, seolah tenggelam dan tergilas oleh himpitan fakta-fakta pedih yang bertubi-tubi menghantui kaum Muslimin pada hari ini.
Isu kebangkitan Islam yang dimunculkan pada tahun 1980-an bisa dipahami dalam dua konteks, yang pertama bersifat ideal dan yang kedua mengacu pada realitas temporal yang berkembang pada saat itu. Yang pertama, harapan ini berangkat dari refleksi dan analisa sebagian sejarawan yang melihat peralihan kepemimpinan peradaban dunia setiap kurang lebih tujuh abad sekali. Entah seberapa kuat perhitungan ini bisa digunakan sebagai pembenar dari harapan di atas, tapi angka tujuh itu sendiri tampaknya merupakan angka yang bisa diterima dan setidaknya mengacu pada fakta-fakta historis tertentu. Peradaban Islam sendiri muncul dan berkembang selama tujuh abad pertama hijriah untuk kemudian mengalami kemunduran secara gradual, juga kurang lebih selama tujuh abad. Dengan demikian, pada tahun 1400 hijriah, kaum Muslimin telah menggenapi dua siklus sejarahnya. Konsekuensinya, abad berikutnya tentu merupakan awal dari siklus baru peradaban mereka, yaitu kebangkitan kembali peradaban kaum Muslimin.
Yang kedua terkait dengan perkembangan dunia Islam pada masa itu. Sebagaimana yang dijelaskan Akbar S. Ahmed dalam bukunya Postmodernism and Islam, dunia Islam pada tahun 1970-an – yaitu menjelang tahun 1980 – memang penuh dengan peristiwa optimistis bagi kaum Muslimin. Pada tahun 1973 terjadi Perang Arab-Israel (Perang Ramadhan) yang secara umum dimenangkan oleh kaum Muslimin, walaupun perang akhirnya dihentikan lewat gencatan senjata. Setelah perang tersebut, Raja Saudi Arabia, Faishal, segera melakukan blokade minyak terhadap Israel dan Amerika yang sangat memukul kekuatan Zionis tersebut. Perusahaan minyak Aramco dinasionalisasi oleh Faishal pada tahun berikutnya. Jenderal Zia ul-Haq melakukan kudeta di Pakistan pada tahun 1977. Ia kemudian berusaha melakukan proses Islamisasi di negeri tersebut.
Di tanah air sendiri, tahun 1980-an memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan yang sangat kentara. Perjuangan siswi-siswi Muslimah di sekolah-sekolah negeri untuk mengenakan busana Muslimah di sekolah berjalan penuh tantangan dan benturan keras sebelum akhirnya mereka berhasil mendapatkan ijin tersebut di tahun 1991. Itu merupakan salah satu contoh gejala kebangkitan di skala mikro. Di tingkat nasional sendiri, tahun 1980-an menandai puncak ketegangan antara kaum Muslimin dengan pemerintahan Orde Baru. Memuncaknya konflik tersebut pada saat yang bersamaan juga membawa pada suatu titik balik yang bernilai positif, yaitu semakin berpihaknya Orde Baru kepada kaum Muslimin. Pada awal tahun 1990-an, tidak seperti masa-masa sebelumnya, kebijakan pemerintah Indonesia sudah banyak mengakomodasi kepentingan kaum Muslimin. Kendati situasi politik dan ekonomi di negeri ini mengalami destabilitas di penghujung dekade tersebut, berbagai perkembangan positif kaum Muslimin terus berlangsung sampai ke masa-masa sekarang ini.
C. Pendidikan Islam Pada Masa Kebangkitan
a. Pendidikan Islam di Mesir
Setelah jatuh kota Baghdad diserang oleh Tartar (Hulako) tahun 685 H/1258 M, lalu Hulako memerintahkan supaya khalifah Abbasiyah, Al-Musta’shim dan ulama-ulama serta pembesar-pembesar lainnya dibunuh mati semuanya. Oleh tentara Hulako dilakukan pembunuhan besar-besaran selama 40 hari lamanya. Keluarga khalifah, ulama dan pembesar-pembesar habis terbunuh semuanya kecuali anak-anak bayi yang dijadikan tawanan dan budak belian atau orang-orang yang dapat melarikan diri sebelum terbunuh.
Kitab-kitab dan buku-buku dalam perpustakaan dibakar habis semuanya dan kulitnya yang baik dijadikan sepatu tentara. Dengan demikian berakhirarlah sejarah khalifah di kota Baghdad sehingga kota itu menjadi sunyi senyap, tak ubahnya seperti negeri dikalahkan garuda.
Pada tahun 659 H/1261 M Sultan Namluks di Mesir, mengangkat salah seorang anak khalifah Abbasiyah yang dapat melarikan diri dari Baghdad ke Mesir menjadi khalifah, berkedudukan di Kairo. Dengan demikian Ibu kota alam Islami berpindah ke Kairo, Mesir. Begitu juga pusat pendidikan dan pengajaran berpindah pula ke Kairo, ke Al-Jami’, Al-Azhar. Pada masa Sultan Baibars (658-676 H-1260-1277 M) Al-Azhar meningkat kemajuan yang gilang gemilang, menjadi pusat Ilmu pengetahuan terutama ilimu-ilmu agama dan bahasa Arab.
Pada masa Sultan Qalawun (678-689 H-1279-1290 M) Mesir sedikit aman dan tentram, lalu Sultan Qalawun mendirikan rumah sakit yang difasilatasi dengan bilik tempat praktikum kimia, serta cukup bermacam-macam alt kedokteran. Selain itu Sultan Qawalun juga mendirikan perpustakaan untuk umum yang berisi macam-macam kitab dala berbagai ilmu pengetahuan. Dalam madrasah itu diajarkan fiqih dalam empat madzhab.
Pada masa Sultan An-Nashir (693-741 H - 1293-1341 M) Mesir mencapai tingkat yang tertinggi. Beliau bukan saja melakukan perbaikan dalam bidang perekonomian, bahkan juga memajukan dan menyebarkan ilmu engetahuan. Pada masanya didirikan gedung-gedung besar yang tidak terhitung banyaknya.
Pendeknya pada masa Sultan-Sultan Mamluks memerintah Mesir, madrasah-madrasah itu bertambah banyak bilangannya. Kebanyakan didirikan oleh Sultan-Sultan dan setengahnya didirikan oleh orang-orang kaya. Menurut riwayat bahwa madarasah-madrasah di Mesir (Kairo) pada pertengahan abad ke-9 H (15 M) berjumlah 45 madrasah dan seluruhnya 70 madrasah.
b. Pendidkan Islam di Turki
Pendidikan dan pengajaran pada masa Usmaniyah Turki mengalami kemunduran, terutama di wilayah-wilayah seperti Mesir, Baghdad dan lain-lain. Yang mula-mula mendirikan madrasah pada masa Usmaniyah Turki adalah Sultan Urkhan. Kemudian diikuti oleh Sultan-sultan keluarga Usmaniyah Turki dengan mendirikan madarasah-madrasah. Memang Sultan-sultan Usamaniyah banyak mendirikan mesjid-mesjid dan madrasah-madrasah tetapi tingkat pendidikan dan pengajaran itu tidak mengalami perbaikan dan kemajuan sedikitpun.
Pada masa itu banyak juga perpusatakaan yang berisi kitab-kitab. Tiap-tiap orang bebas membaca dan mempelajari isi kitab-kitab itu. Bahkan banyak pula ulama, guru-guru ahli sejarah dan ahli syair pada masa itu. Tetapi mereka itu hanya mempelajari kaidah-kaidah ilmu agama dan bahasa arab, serta sedikit ilmu berhitung untuk membagi harta warisan dan ilmu miqat untuk mengetahui waktu sembahyang.
Mereka tidak terpengaruh oleh pergerakan ilmiyah di Eropa dan tidak pula mau mengikuti jejak zaman kemajuan dunia islam pada masa Harun Ar-rasyid dan masa Al-Makmun, yaitu masa keemasan dalam sejarah islam. Sistim pengajaran pada masa itu ialah dengan menghafal matan-matan, seperti matan Aj-jurumiyah, matan taqrib, matan alfiyah, matan sulam, dan lain-lain meskipun murid-murid tidak mengerti maksudnya. Setelah murid-murid menghafal matan-matan itu barulah mereka mempelajari syarahnya, kadang-kadang serta hasyiahnya. Dengan demikian pelajaran itu bertambah berat dan bertambah sulit untuk menghafalnya. Demikianlah keadaan pendidikan dan pengajaran pada masa Usmaniyah Turki.
c. Pendidikan Islam di Irak
Era keemasan Islam di Baghdad ditandai dengan berkembangnya ilmu agama, filsafat dan ilmu pengetahuan. Khalifah mendorong para ulama dan sarjana untuk berlomba-lomba mengkaji ilmu. Dengan tawaran gaji, fasilitas, dan hadiah yang besar, para sarjana Islam menerjemahkan sederet karya-karya ilmiah dari Yunani, Persia, Syria, dan Koptik ke dalam bahasa Arab.
Gerakan penerjemahan itu berlangsung selama 100 tahun. Awalnya, pendidikan dilaksanakan di masjid atau di rumah-rumah. Para ulama mengajar dengan sistem halaqah (pertemuan). Waktu itu beberapa masjid sudah dilengkapi dengan perpustakaan. Lembaga pendidkan dasar-menengah disebut kuttab.
Kekuatan penuh kebangkitan Timur mulai tampak setelah Baitulhikmah yang didirikan Khalifah Harus Ar-Rasyid sebagai lembaga penerjemah berkembang menjadi perguruan tinggi, perpustakaan dan lembaga penelitian pada era Khalifah Al-Ma’mun. Baitulhikmah memiliki koleksi ribuan judul ilmu pengetahuan. Perpustakaan besar itu didesain khusus. Di dalamnya terdapat sebuah ruang baca yang sangat nyaman. Tak hanya itu, Baitulhikmah juga menjadi tempat-tempat tinggal bagi para penerjemah. Secara rutin, para ilmuwan menggelar diskusi-diskusi ilmiah. Baitulhikmah juga digunakan sebagai tempat pengamatan bintang. Kehadiran Baitulhikmah mendorong Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, ilmu kesusasteraan dan syariat Islam di seluruh kerajaan Islam - termasuk dunia. Al-Ma’mun mempercayakan tugas penerjemahan di Baitulhikmah kepada Yahya bin Abi Mansur serta Qusta bin Luqa, Hunain bin Ishaq dan Sabian Sabit bin Qurra.
Ketika Al-Ma’mun mendirikan Baitulhikmah, ia sempat mengirimkan utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani kuno untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada tahap awal, para ilmuwan di Baitulhikmah menerjemahkan karya-karya bidang kedokteran dan filsafat. Setelah itu, karya-karya dalam bidang matematika, astrologi, dan ilmu bumi mendapat perhatian. Prestasi yang menonjol yang dihasilkan para sarjana di lembaga itu adalah penemuan susunan peta bumi. Pada masa itu juga diketahui cara menentukan arah kiblat bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat. Ghirah ilmu pengetahuan dan agama di era keemasan Dinasti Abbasiyah itu telah melahirkan sederet sarjana dan ilmuwan besar yang berpengaruh, seperti Al-Kindi.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di Baghdad turut mewarnai dan berpengaruh terhadap kota-kota lain seperti Kairo, Basra, Kufah, Damaskus, Sarkand, Bukhara, dan Khurasan. Para pelajar yang datang dari berbagai wilayah ke Baghdad, kemudian mengembangkan pengetahuan di tanah kelahiran mereka masing-masing. Dinasti Abbasiyah (750-1258) bermunculan para filusuf, ilmuan, dan sentar ilmu. Puluhan perpustakaan besar (maktabah) didirikan, termasuk Perpustakaan Baghdad yang diawasi langsung oleh khalifah. Selain karya-karya asing, buku karya ilmuan muslim sendiri juga ada di Perpustakaan Baghdad ini. Koleksi buku Perpustakaan Baghdad berjumlah 400 hingga 500 ribu jilid.
Khalifah yang membangun cikal bakal Perpustakaan Baghdad adalah al Mansyur (754-775). Ia memulai kegiatan ilmu ini dengan memerintahkan penerjemahan buku-buku asing. Ia juga membangun gedung khusus yang menjadi cikal-bakal baitulhikmah yang dibangun oleh al Ma’mun (813-833). Baitulhikmah kemudian menjadi perpustakaan besar dengan segala aktivitas intelektualnya. Perpustakaan yang dibangun dengan susah-payah pada masa Abbasiyah dihancurkan seketika oleh pasukanMongol (1258). Mereka membakar atau membuang ke Sungai Tigris koleksi buku Perpustakaan Baghdad. Ini adalah pemusnahan buku paling mengerikan dalam sejarah perpustakaan Islam. Tumpukan api unggun pembakaran buku Perpustakaan Baghdad konon menyamai ketinggian menara Masjid Agung Baghdad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar