Alhamdulilllah, segala puji kita panjatkan kehadirat Allah swt bahwa hingga saat ini, Allah masih memberi kita kesempatan untuk menyempurnakan pengabdian kita kepadaNya, dengan harapan mudah-mudahan segala kekurangan dalam proses pengabdian itu diampuni oleh Allah swt. Mudah-mudahan juga momentum hari jumat ini semakin memberikan kita kesadaran akan peningkatan kualitas iman dan takwa kita kepadaNya. Amin.
Sesungguhnya kehidupan ini memang Allah ciptakan untuk menguji siapa diantara hambaNya yang paling banyak dan paling baik beramal. Beramal merupakan inti dari keberadaan manusia di dunia ini, tanpa amal maka manusia akan kehilangan fungsi dan peran utamanya dalam menegakkan khilafah dan imarah. Allah berfirman menegaskan tujuan keberadaan manusia,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
” Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun“. (Al-Mulk: 2)
Namun pada tahap implementasinya, ternyata tidak cukup hanya beramal saja, karena memang Allah akan menseleksi setiap amal itu dari niatnya dan keikhlasannya. Tanpa ikhlas, amal seseorang akan sia-sia tidak berguna dan tidak dipandang sedikitpun oleh Allah swt. Imam Al-Ghazali menuturkan, “Setiap manusia binasa kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu akan binasa kecuali orang yang beramal (dengan ilmunya). Orang yang beramal juga binasa kecuali orang yang ikhlas (dalam amalnya). Namun orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan berhati-hati dalam beramal”. Dalam hal ini, hanya orang-orang yang ikhlas beramal yang akan mendapat keutamaan dan keberkahan yang sangat besar, seperti yang dijamin Allah dalam firmanNya, “Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (bekerja dengan ikhlas). Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, di dalam syurga-syurga yang penuh kenikmatan”. (Ash-Shaaffat: 40-43)
Ma’asyiral Muslimin RahimakumuLlah…
Ayat tentang keutamaan dan jaminan bagi orang yang bekerja dengan ini ini seharusnya menjadi motifasi utama kita dalam menjalankan tugas dan pekerjaan kita sehari-hari dalam apapun dimensi dan bentuknya, baik dalam konteks “hablum minaLlah atau Hablum minannas”..karena hanya orang yang mukhlis nantinya yang akan meraih keberuntungan yang besar di hari kiamat, yaitu syurga Allah yang penuh dengan kenikmatan, meskipun dia harus banyak bersabar terlebih dahulu ketika di dunia. Ayat ini juga merupakan salah satu diantara jaminan yang disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang mukhlis.
Membangun Keikhlasan Dalam Beramal
Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
________________________________________
الحمد لله الذى جَعَلَنا مِنْ عِبادِهِ الْمُخْلِصِيْْنَ ووَفَّقَنا لِلْعَمَلِ بِما فيهِ صَلاحُ الاسْلامِ والمسلمين
أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الهادى الى الصراط لمستقيم أما بعد،، فياأيها المسلمون أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل والتَّمَسُّكِ بهذا الدِّين تَمَسُّكًا قَوِيًّا. فقال الله تعالى في كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ “
dakwatuna.com - Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah..
Alhamdulilllah, segala puji kita panjatkan kehadirat Allah swt bahwa hingga saat ini, Allah masih memberi kita kesempatan untuk menyempurnakan pengabdian kita kepadaNya, dengan harapan mudah-mudahan segala kekurangan dalam proses pengabdian itu diampuni oleh Allah swt. Mudah-mudahan juga momentum hari jumat ini semakin memberikan kita kesadaran akan peningkatan kualitas iman dan takwa kita kepadaNya. Amin.
Sesungguhnya kehidupan ini memang Allah ciptakan untuk menguji siapa diantara hambaNya yang paling banyak dan paling baik beramal. Beramal merupakan inti dari keberadaan manusia di dunia ini, tanpa amal maka manusia akan kehilangan fungsi dan peran utamanya dalam menegakkan khilafah dan imarah. Allah berfirman menegaskan tujuan keberadaan manusia,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
” Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun“. (Al-Mulk: 2)
Namun pada tahap implementasinya, ternyata tidak cukup hanya beramal saja, karena memang Allah akan menseleksi setiap amal itu dari niatnya dan keikhlasannya. Tanpa ikhlas, amal seseorang akan sia-sia tidak berguna dan tidak dipandang sedikitpun oleh Allah swt. Imam Al-Ghazali menuturkan, “Setiap manusia binasa kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu akan binasa kecuali orang yang beramal (dengan ilmunya). Orang yang beramal juga binasa kecuali orang yang ikhlas (dalam amalnya). Namun orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan berhati-hati dalam beramal”. Dalam hal ini, hanya orang-orang yang ikhlas beramal yang akan mendapat keutamaan dan keberkahan yang sangat besar, seperti yang dijamin Allah dalam firmanNya, “Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (bekerja dengan ikhlas). Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, di dalam syurga-syurga yang penuh kenikmatan”. (Ash-Shaaffat: 40-43)
Ma’asyiral Muslimin RahimakumuLlah…
Ayat tentang keutamaan dan jaminan bagi orang yang bekerja dengan ini ini seharusnya menjadi motifasi utama kita dalam menjalankan tugas dan pekerjaan kita sehari-hari dalam apapun dimensi dan bentuknya, baik dalam konteks “hablum minaLlah atau Hablum minannas”..karena hanya orang yang mukhlis nantinya yang akan meraih keberuntungan yang besar di hari kiamat, yaitu syurga Allah yang penuh dengan kenikmatan, meskipun dia harus banyak bersabar terlebih dahulu ketika di dunia. Ayat ini juga merupakan salah satu diantara jaminan yang disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang mukhlis.
Jaminan lain yang Allah sediakan bagi mereka yang ikhlas dalam beramal bisa ditemukan dalam kisah perjalanan Yusuf as ketika beliau berhadapan dengan seorang wanita yang mengajaknya melakukan kemaksiatan. Bahwa Allah akan senantiasa memelihara hambaNya yang mukhlis dari perbuatan keji dan maksiat, “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang mukhlis“. (yusuf: 24). Dalam ayat lain, orang yang mukhlis juga mendapat jaminan akan terhindar dari godaan dan bujuk rayu syetan. Syetan sendiri mengakui ketidakberdayaan dan kelemahan mereka dihadapan orang-orang yang beramal dengan ikhlas, “Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (Al-Hijr: 39-40). Dengan redaksi yang sama, ayat ini berulang dalam surah Shaad, “Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka“. (Shad: 82-83). Sungguh benteng keikhlasan merupakan benteng yang paling kokoh yang tak tergoyahkan oleh apapun bentuk rayuan dan fitnah iblis dan sekutunya.
Ma’asyiral muslimin RahimakumuLlah…
Dalam tinjauan ilmu qira’at, para ulama qira’at berbeda dalam membaca kata “Al-Mukhlashin” yang tersebut pada akhir kedua ayat tersebut. Sebagian qari’ membaca Al-Mukhlashin dengan ism maf’ul dan sebagian lainnya membaca dengan isim fi’il Al-Mukhlishin. Imam Ibnu Katsir, Abu Amr dan Ibnu Amir, membaca seluruh kalimat ini dalam Al-Qur’an dengan bacaan “Al-Mukhlishin” yang artinya: Mereka mampu memurnikan agama dan ibadah mereka dari segala noda yang bertentangan dengan nilai tauhid. Sedangkan ulama qira’at yang lain membaca Al-Mukhlashin yang artinya: Mereka yang dipelihara dan mendapat taufik dari Allah untuk memiliki sifat Ikhlas. Berdasarkan qira’at ini, ikhlas dan iman adalah mutlak anugerah Allah swt kepada hamba-hambaNya yang dikehendaki. Namun setiap hamba diperintahkan oleh Allah untuk senantiasa memperhatikan dan meningkatkan kadar dan tingkt keikhlasannya dalam beramal. Bahkan Allah menyuruh kita meneladani orang-orang yang mendapat petunjuk karena tidak pernah mengharapkan balasan dari amalnya kecuali dari Allah swt, “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Yaasin: 21)
Secara prinsip, Islam memandang keikhlasan sebagai pondasi dan ruh sebuah amal, apapun bentuknya amal tersebut selama termasuk kategori amal sholih. Baik amal tersebut dilakukan dalam skala pribadi maupun secara kolektif (bermasyarakat, berbangsa dan bernegara). Bahkan keikhlasan dalam ruang lingkup kolektif sosial ternyata sesuatu yang berat dan memerlukan lebih kesabaran. Dalam konteks ini, keikhlasan harus dibangun secara timbal balik antara seluruh individu dalam masyarakat dan menghindari kecemburuan serta persepsi negatif terhadap masing-masing anggota. Demikian, semakin luas wilayah kerja seseorang, maka semakin dibutuhkan keikhlasan. Apalagi di tengah semakin beragam hambatan atau ujian keikhlasan yang menghadangnya, yang pada umumnya adalah seperti yang dinyatakan oleh Syekh Hasan Al-Banna’ dalam Risalahnya, yaitu: harta, kedudukan, popularitas, gelar, ingin selalu tampil di depan dan diberi penghargaan dan pujian dan sebagainya.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumuLlah…
Jika keikhlasan dituntut dari setiap orang yang beramal, maka menurut Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, keikhlasan bagi seorang da’i merupakan keniscayaan yang harus senantiasa menyertainya karena ia akan berhadapan dengan berbagai keadaan dan beragam manusia dalam perjalanan dakwahnya. Jika tidak, maka binasa dan sia-sialah amalnya. Bahkan sifat yang mendasar bagi seorang da’i yang harus senantiasa melaziminya adalah ikhlas. Oleh karena itu, para ulama hadits menjadikan bab Niat berada di awal kitab hadits susunan mereka, agar karya tulis mereka selalu diawali dengan keikhlasan dan tidak luput dari sifat ini. Bisa dibayangkan para ulama yang merupakan teladan dalam beramal mencontohkan kita agar senantiasa mengukur setiap amal yang kita lakukan dengan ukuran ikhlas.
Para nabi Allah dalam kapasitas mereka sebagai da’i senantiasa menjadikan keikhlasan sebagai jargon dan prinsip dakwah mereka. Sebagai contoh Nabi Muhammad saw sebagai teladan utama dalam hal ini mengemukakan tentang motifasinya dalam berdakwah, “Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan nya“. (Al-Furqan: 57)
Dengan redaksi yang sama dan dalam surah yang sama secara berdampingan, seluruh nabi Allah menekankan prinsip keikhlasan dalam dakwah mereka yang ideal, mulai dari nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth dan Syu’aib as. “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam“. (Asy-Syu’ara’: 109, 127, 145, 164, 180). Inilah bangunan keikhlasan yang pernah ditunjukkan dan dicontohkan dalam dakwah para nabi Allah swt, sehingga mereka meraih kesuksesan dan diabadikan namanya oleh Allah swt sebagai cerminan bagi para da’i setelah mereka.
Ma’asyiral Muslimin rhimakumuLlah…
Menurut bahasa, dalam kata ikhlas terkandung beberapa makna; jernih, bersih, suci dari campuran dan pencemaran, baik berupa materi maupun non materi. Lawan dari ikhlas adalah nifak dan riya’. Rasulullah saw bersabda tentang sifat yang mulia ini dalam sabdanya, “Barangsiapa yang tujuan utamanya meraih pahala akhirat, niscaya Allah akan menjadikan kekayaannya dalam kalbunya, menghimpunkan baginya semua potensi yang dimilikinya, dan dunia akan datang sendiri kepadanya seraya mengejarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang tujuan utamanya meraih dunia, niscaya Allah akan menjadikan kemiskinannya berada di depan matanya, membuyarkan semua potensi yang dimilikinya, dan dunia tidak akan datang sendiri kepadanya kecuali menurut apa yang telah ditakdirkan untuknya“. (Tirmidzi).
Dalam apapun keadaan, keikhlasan akan tetap menjadi modal, bekal sekaligus kemudi amal sholih, apalagi dakwah sebagai puncak dari amal sholih. Karena semakin berat dan mulia sebuah tugas tentu akan semakin dibutuhkan keikhlasan. Semakin dewasa perjalanan dan pengalaman dakwah seseorang, maka semestinya semakin baik tingkat dan kualitas keikhlasannya. Keikhlasan juga merupakan salah satu dari dua pilar dan syarat diterimanya amal sholih, bahkan ia yang paling utama, seperti yang dinyatakan oleh Abdullah bin Al-Mubarak ketika menafsirkan ayat: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Al-Mulk: 2). Tanpanya amal seseorang akan sia-sia tidak bernilai. Untuk itu, dengan ikhlas, akan mencukupi amal yang sedikit seperti yang ditegaskan dalam sebuah riwayat Ad-Dailami, “Ikhlaslah kamu dalam beramal, maka cukuplah amal yang sedikit yang kamu lakukan”.
” أَخْلِصِ الْعَمَلَ يَجْزِيْكَ القلِيْلُ مِنْهُ”
Agar ikhlas dapat terpelihara, tentu ada variabel yang melekat pada setiap amal yang kita lakukan; diantaranya variabel profesionalisme, kompetensi, itqan dan kesungguhan. Maka amal yang cenderung apa adanya, serampangan, asal jadi, “pokoknya” dan amal yang tidak konsisten bisa jadi karena ketidak ikhlasan kita dalam menjalankan tugas tersebut. Ini tantangan terberat bagi kita sesungguhnya. Ikhlas inilah yang akan memperkuat potensi spritualitas kita. Lantas pertanyaan besar kita, “Apakah ruh dan motifasi yang menggerakkan roda amal kita selama ini ???…
بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم ونفعنى واياكم بما فيه من الايات والذكر الحكيم وتقبل الله منى ومنكم تلاوته انه هو السميع العليم
BANYAK yang berkomentar bahwa sistem pembelajaran mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) berbeda dengan mata pelajaran lainnya. Sebagian menganggap lebih rumit. Karena output- nya adalah perbaikan dan peningkatan ibadah, akhlak dan pengetahuan siswa terhadap pengetahuan ke-Islaman.
Kendati begitu, jika hanya mengandalkan jumlah jam pertemuan di kelas, sangat mustahil mampu mewujudkan hasil pembelajaran yang baik. Walau bagaimanapun, mata pelajaran PAI merupakan penyeimbang mata pelajaran lain dalam rangka membentuk karakter anak didik. Terutama untuk memberikan pengaruh positif bagi anak didik dalam beramal sholih, berakhlak mulia dan bersopan santun sesuai dengan ajaran Islam.
Namun permasalahannya, apakah cita-cita agung itu bisa diraih dengan hanya memberikan 2 jam pelajaran di setiap pekan ? Untuk menjawabnya, sebaiknya kita melihat kembali bagaimana karakter seseorang itu bisa dibentuk. Rasulullah SAW menggambarkan seorang anak bagaikan secarik kertas yang bersih tanpa tulisan apapun. Orangtuanya lah yang akan menentukan, apakah ketika anak dewasa itu menjadi yahudi atau majusi. Bahkan menjadi pribadi muslim yang sempurna atau tidak.
Bukti teori pendidikan sudah digulirkan oleh Rasulullah SAW, jauh sebelum para ahli pendidikan berbicara masalah pendidikan anak. Dalam hal ini, penulis memahami bahwa yang dimaksud dengan orang tua di sini mempunyai 3 aspek. Orangtua yang melahirkan dan merawat si anak dalam hal ini ayah dan ibu; orang tua yang memberikan pengajaran di lingkungan sekolah, yakni para guru dan ustadz; serta orang lain yang dianggap oleh anak sebagai contoh atau panutan di masyarakat atau dunia pergaulannya.
Sebenarnya, jika melihat realitas saat ini, sekolah belum melengkapi kebutuhan si anak didik. Terutama dalam rangka memberikan pembelajaran tentang karakter atau pribadi muslim yang sempurna. Apalagi hanya 2 jam pelajaran yang diberikan, tentu sangat kurang. Apalagi jika ada kendala teknis seperti mutu guru PAI yang kurang profesional dan cara penyampaian yang kurang efektif. Bisa dibilang, pembelajaran PAI dengan 2 jam pelajaran tidak ada pengaruhnya ke anak didik.
Karena itu, sekolah bisa menyiasati permasalahan ini dengan membuat sebuah sistem PAI terpadu. Yakni, guru me-manage pola asuh anak didik dengan sebaik-baiknya. Guru ikut memantau anak didik, tidak hanya di sekolah, tetapi di rumah dan di masyarakat. Aplikasi dari konsep ini, ketika guru ingin melihat bagaimana kebiasaan anak didik saat pagi hari. Begitu selesai salat subuh, guru bisa menelpon anak didik untuk dicek. Tidak perlu setiap hari. Jika perlu, jadikan program pekanan dengan agenda menelpon 5-8 anak setiap pekan. Sedangkan bentuk pemantauan di masyarakat, dengan membuka komunikasi pada orang tua anak didik. Dengan begitu, guru bisa mengetahui kebiasaan dan teman-teman bermain anak didik ketika di rumah.
Setelah mencoba memberikan perhatian ke anak didik, konsep keterpaduan selanjutnya adalah seorang guru harus mampu memberikan tampilan pembelajaran yang terbaik. Bukan hanya sebatas tampilan ketika di depan kelas, tetapi guru harus lihai menyusun materi pembelajaran yang aplikatif. Dalam hal ini seorang guru harus memahami bahwa semua ilmu adalah bersumber dari Allah SWT. Tidak ada dikotomi mata palajaran. Kalau perlu pada saat pelajaran PAI, guru harus mengembangkan ke ranah pelajaran umum, seperti halnya jika menjelaskan tafsir Surat Al-Mukminuun ayat ke 12-14 tentang bagaimana Allah menciptakan manusia.
Artinya guru PAI memang harus mampu mengembangkan atau minimal mengetahui bagaimana teori janin yang ada di kandungan, yang ada di ilmu kesehatan (biologi). Jika model pembelajaran seperti ini dapat dilaksanakan dengan sentuhan-sentuhan kreativitas pembelajaran. Hasilnya, anak didik akan mendapatkan masukan ilmu yang komprehensif dan terpadu antara ilmu agama (dalil Al-Quran) dan ilmu biologi (janin manusia).
Selanjutnya, keterpaduan yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah sebuah kesamaan visi yang didukung oleh lembaga pendidikan dalam hal ini struktur sekolah dan setiap guru yang mengajar di lingkungan sekolah. Semua penyelenggara pendidikan harus mempunyai kesamaan tujuan dan cita-cita untuk memberikan pendidikan yang sempurna untuk anak didiknya. Kesempurnaan ini bisa dituangkan dalam program-program pendidikan yang merangsang perkembangan fikriyyah (pola pikir anak didik), ruhiyyah (kecerdasan spiritual) dan jasadiyyah (perkembangan fisik anak didik).
Syarat mutlak mewujudkan ke-terpaduan pendidikan ini adalah adanya lingkungan pendidikan yang kondusif. Setiap guru mampu menjadi teladan bagi anak didiknya. Walau bagaimanapun, anak didik akan sulit bersikap jujur (shiddiq), jika setiap hari melihat dan mendengar ber-bagai kebohongan yang ada di sekitarnya.
Demikian wacana konsep keterpaduan yang penulis tawarkan, semoga bisa menjadi referensi bagi aktivis pendidikan untuk mewujudkan pendidikan yang lebih baik di negeri ini. Khususnya bagi para guru PAI, yang mempunyai tanggungjawab besar untuk memberikan panduan beragama Islam yang benar kepada anak didiknya. Wallahu a’lamu bi showab.
A. Pendahuluan
Lembaga pendidikan Islam di era sekarang dihadapkan kepada perubahan yang mendasar, terutama mempersiapkan siswa yang nantinya akan berintegrasi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai macam latar belakang budaya dan agama. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari sebuah proses pendidikan agama, ada dua hal sebagai “pekerjaan rumah (PR)” lembaga tersebut, terutama pendidik/guru agama Islam, yakni: para pendidik tersebut sudah sa’atnya butuh pengertian yang mendalam dan harus merasa peka terhadap isu-isu pemahaman keagamaan yang sedang berkembang dalam masyarakat umum. Baru kemudian, para pendidik ini harus bisa membantu siswanya untuk jadi sadar akan penting memahami budaya yang bermacam-macam dalam masyarakat, khususnya di bidang keagamaan.[1]Jika tidak demikian, tampaknya lembaga pendidikan, khususnya Islam, sulit berpartisipasi dalam menengahi model-model pemahaman Islam radikal yang sering dituduh sebagai penyulut munculnya ketidaknyamanan dalam masyarakat beragama. Lembaga-lembaga pendidikan, terutama di masa akan datang, harus bisa memproduksi sarjana Islam yang berpikiran moderat untuk mewadahi berbagai macam pemahaman yang cenderung radikal itu.Untuk mengujudkan itu, seluruh unsur sistem pendidikan Islam, khususnya pembelajaran agama Islam, sebaiknya ditelaah kembali. Dalam tulisan ini, hanya satu aspek yang bisa disampaikan, yakni landasan normatif (ayat-ayat al-Qur’an) sebagai inspirasi pendidikan Islam di era multikultural.
1. Pendidikan Islam Multikultural
Pendidikan multikultural merupakan strategi pembelajaran yang menjadikan latarbelakang budaya siswa yang bermacama-macam digunakan sebagai usaha untuk meningkatkan pembelajaran siswa di kelas dan lingkungan sekolah. Yang demikian dirancang untuk menunjang dan memperluas konsep-konsep budaya, perbedaan, kesamaan dan demokrasi[2] Ada pula yang mengatakan pendidikan multikultural adalah sebuh ide atau konsep, sebuah gerakan pembaharuan pendidikan dan proses. Konsep ini muncul atas dasar bahwa semua siswa, tanpa menghiraukan jenis dan statusnya, punya kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah formal.[3] Dua definisi di atas tampaknya lahir pada setting historis khusus, yakni pada lembaga-lembaga pendidikan tertentu di wilayah Amerika yang pada awalnya diwarnai oleh sistem pendidikan yang mengandung diskriminasi etnis, yang belakangan hari mendapat perhatian serius dari pemerintah.[4] Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan (Islam) yang ditemukan di Asia, terutama Indonesia, yang sejak awal tidak begitu menampakkan diskriminasi radikal di dalam kelas. Perbedaan ruang kelas antara pria dan wanita pada lembaga-lembaga tertentu pada lembaga pendidikan Islam misalnya, tidak bisa langsung diartikan sebagai tindakan diskriminatif, karena yang demikian lebih dimaknai sebagai antisipasi terhadap pelanggaran moral baik dalam pandangan Islam dan kultur masyarakat.Oleh karena itulah, pendidikan Islam multikultural di sini lebih diartikan sebagai sistem pengajaran yang lebih memusatkan perhatian kepada ide-ide dasar Islam yang membicarakan betapa pentingnya memahami dan menghormati budaya dan agama orang lain.Secara konseptual, rumusan pendidikan Islam multikultural belum menunjukkan jati dirinya secara maksimal, khususnya di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam formal. Bukan hanya pendidikan Islam multikultural yang belum dikembangkan, tetapi juga pendidikan agama multikultural saja belum ditemukan bentuknya seperti apa. Barangkali pada lembaga-lembaga tertentu sudah ada, tetapi dalam status mata pelajaran muatan lokal.C. Landasan Normatif Pendidikan Islam MultikulturalAda 4 (empat) isu pokok yang dipandang sebagai dasar pendidikan Islam multikultural, khususnya di bidang keagamaan, yaitu:1) kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pesan-Nya (wahyu); 2) kesatuan kenabian;3) tidak ada paksaan dalam beragama; dan4) pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Semua yang demikian disebut normatif karena sudah merupakan ketetapan Tuhan. Masing-masing klasifikasi didukung oleh teks (wahyu), kendati satu ayat dapat saja berfungsi untuk justifikasi yang lain.
Dari aspek kesatuan ketuhanan, pendidikan Islam mendasarkan pandangannya dari al-Qur’an surat an-Nisa>’: 131: “Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kamu dan juga kepadamu agar bertakwa kepada Allah”.
Katakanlah (Muhammad), Wahai Ahlu-l-Kita>b! Marilah kita menuju kepada satu kali>mat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.[5]Dari aspek kesatuan pesan ketuhanan (wahyu) dapat dilihat dalam surat an- Nisa>’: 163: Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya; ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud.[6] Dari aspek kesatuan kenabian, al-Faruqi mendasarkan pandangannya dari al-Qur’an surat al-Anbiya>’: 73: “Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi pentunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan salat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah”. Kemudian surat A
D. Penutup
Di bagian akhir ini disampaikan bahwa pendidikan Islam multikultural bukan hanya secara konseptual memberikan kesamaan hak atas peserta didik dalam kelas untuk mendapatkan kesempatan di bidang apa saja, tetapi juga yang penting adalah menjelaskan kepada siswa bagaimana Islam membina hubungan yang baik dengan penganut tradisi di luar Islam yang pernah dibawa Nabi Muhammad beberapa abad yang silam. Pendidikan Islam multikultural seyogianya menjadikan dasar-dasar normatif ini sebagai landasan untuk merumuskan bagaimana semestinya proses pendidikan dalam Islam dikelola sehingga ia tidak asing dari masyarakat yang secara hukum alam bpunya budaya sendiri-sendiri. Salah satu pekerjaan rumah (PR) yang mendesak dikerjakan adalah mengkaji ulang mata-mata pelajaran seperti kurikulum sejarah kebudayaan Islam (SKI), atau yang terkait dengan proses pembelajaran mata pelajaran tersebut di kelas. Sering ditemukan dalam pembelajaran SKI ini ialah bahwa sejarah Islam itu selalu saja dimulai dari priode Nabi Muhammad, tanpa melihat pada genetika maupun sejarah para nabi (Musa, Isa) yang membawa agama besar lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani. DAFTAR PUSTAKAH.A.R., Tilaar Multicultural Education and Its Challenges in Indonesia”, makalah pada International Seminar on Multicultural Education, Cross Cultural Understandding for Democracy and Justice, Yogyakarta 26-26 Agustus 2005.Donna M. Gollnick dan Philip C. Chinn, Multicultural Education in a Pluralistic Society, edisi ke-5, New Jersey, Columbus: Merill an imprint of Prentice Hall, 1998.Jack Levy “Multicultural Education and Democracy in the United State”, makalah pada International Seminar on Multicultural Education Cross Cultural Understandding for Democracy and Justice, Yogyakarta 26-26 Agustus 2005.Endang Turmudi, “Pendidikan Multikultural di Indonesaia dan Tantangannya” makalah yang dipresentasikan pada International Seminar on Multicultural Education Cross Cultural Understandding for Democracy and Justice, Yogyakarta 26-26 Agustus 2005.Isma’il Raji al-Faruqi, “The Role of Islam in Global Inter-Religious Defendence” dalam Ataullah Siddiqui. Islam and Other Faiths, Horndon USA: The International Institute of Islam Thought, 1998 Isma’il, The Cultural Atlas of Islam, New York: Macmillan, 1986.Isma’il Raji al-Faruqi, “On The Nature of Islamic Da’wah” dalam International Review of Mission, Vol. LXV, No. 260, October, 1976.Étienne Gilson, Tuhan di Mata para Filosuf, (terj) Silvester Goridus Sukur, Bandung: Mizan, 2004.Al-Faruqi, Islam and Christianty: Diatribe or Dialogue” dalam Jurnal of Ecumenical Studies, volume 5, No. 1, Winter, 1968. Karen Armstrong, A History of God: The 4000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. New York: Ballantine Books, 1993.al-Faruqi yang tertuang dalam Historical Atlas of The Religions of The World, New York: The MacMillan Co., 1974.Akbar S. Ahmed, Living Islam, From Samarkand to Stornoway,New York: Fact on File Inc., 1994.
________________________________________
[1]Diskusi tentang peran guru sebagai yang terpenting dari seluruh sistem pendidikan dapat dibaca dalam H.A.R., “Tilaar Multicultural Education and Its Challenges in Indonesia”, makalah pada International Seminar on Multicultural Education, Cross Cultural Understandding for Democracy and Justice, Yogyakarta 26-26 Agustus 2005 hal. 8.
[2]Donna M. Gollnick dan Philip C. Chinn, Multicultural Education in a Pluralistic Society, edisi ke-5, (New Jersey, Columbus: Merill an imprint of Prentice Hall, 1998), hal. 3.
[3]Jack Levy “Multicultural Education and Democracy in the United State”, makalah pada International Seminar on Multicultural Education Cross Cultural Understandding for Democracy and Justice, Yogyakarta 26-26 Agustus 2005 hal. 8.
[4]Endang Turmudi, “Pendidikan Multikultural di Indonesaia dan Tantangannya” makalah yang dipresentasikan pada International Seminar on Multicultural Education Cross Cultural Understandding for Democracy and Justice, Yogyakarta 26-26 Agustus 2005 hal. 1.
[5]Isma’il Raji al-Faruqi, “The Role of Islam in Global Inter-Religious Defendence” dalam Ataullah Siddiqui. Islam and Other Faiths (Horndon USA: The International Institute of Islam Thought, 1998), hal. 74. Juga Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan, 1986), hal. 190.
[6]Ibid., hal. 77.
[7]Ibid., hal. 74.
[8]Isma’il Raji al-Faruqi, “On The Nature of Islamic Da’wah” dalam International Review of Mission, Vol. LXV, No. 260, October, 1976, hal. 305.
[9]Al-Faruqi, “The Role of Islam”, hal. 76.
[10]Étienne Gilson, Tuhan di Mata para Filosuf, (terj) Silvester Goridus Sukur (Bandung: Mizan, 2004), hal. 168. Dalam buku ini ditulis mengenai pendekatan Immanual Kant dan Auguste Comte tentang pengetahuan.
[11]Al-Faruqi, Islam and Christianty: Diatribe or Dialogue” dalam Jurnal of Ecumenical Studies, volume 5, No. 1, Winter, 1968, hal. 45.
[12]Ibid., 49.
[13]Terma h{ani{f< identik dengan “agama tanpa nama” seandainya hal ini diartikan secara harfiyah dengan terma Anonymous Christians (Kristen tanpa nama) yang dicetuskan oleh Karl Rahner pada tahun 1965. Ide dasar dari dua konsep tersebut kelihatan sama, kendati al-Faruqi mengatakan berbeda. Menurutnya, hanif adalah kategorisasi yang dibuat al-Qur’an, sedang Kristen tanpa nama adalah hasil sebuah intelektualisasi manusia (teologi modern)
[14]Karen Armstrong, A History of God: The 4000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. New York: Ballantine Books, 1993, hal. 165.
[15]Analisis mendalam tentang kesadaran agama Timur Dekat Kuno ini dapat dilihat dalam
karya al-Faruqi yang tertuang dalam Historical Atlas of The Religions of The World (New York: The MacMillan Co., 1974).
[16]Lihat al-Faruqi, Historical Atlas dalam pembahasan “The Ancient Near East”, hal. 1-34.
[17]Ibid., hal. 76.
[18]Ibid., hal. xx.
[19]Ibid., hal. 75.
[20]Al-Faruqi, “Islam and Christianity”, hal. 94.
[21]Al-Qur’an, surat al-Hajj, ayat 17 dan 42.
[22]Ada pendapat yang menyebutkan bahwa jumlah para Nabi itu di atas 124.000 orang, termasuk orang-orang besar seperti Plato dan Buddha, kendati yang demikian masih dalam perdebatan. Baca Akbar S. Ahmed, Living Islam, From Samarkand to Stornoway (New York: Fact on File Inc., 1994)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar